Breaking News
Loading...
Rabu, 16 Oktober 2019

Gunakan Varietas Inpara untuk Lahan Genangan

5:42 PM

Lahan rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta hektar, terdiri dari 20,19 juta ha lahan pasang surut dan 13,28 juta ha lahan lebak. Keseluruhan lahan rawa tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan pasang surut adalah rawa yang dipengaruhi oleh gerakan gelombang pasang surut akibat adanya kekuatan daya tarik bumi, bulan dan matahari. Lahan lebak adalah rawa yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama 3 bulan, dengan tingkat genangan minimal 50 cm.
Lahan rawa merupakan salah satu jenis lahan marjinal yang rapuh dan memiliki keragaman kondisi biofisik. Masalah biofisik utama dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut antara lain: genangan air; tingginya kemasaman tanah (pH tanah rendah); terdapat kandungan zat beracun (Al, Fe, Hidrogen Sulfida dan Natrium); kandungan bahan organik rendah; kahat unsur hara khususnya P, CA dan MG; kandungan Fe dan Mn tinggi; serta mengandung Aluminium yang tinggi. Selain kondisi lingkungan yang dapat membatasi pertumbuhan tanaman padi, kendala lainnya adalah serangan penyakit. Serangan penyakit yang dapat ditemui pada pertanaman padi di lahan rawa lebak adalah: penyakit Blas, hawar daun bakteri (HDB) dan busuk pelepah.
Hambatan yang ditemui dalam budidaya padi di lahan rawa, telah dikendalikan dengan menngunakan beberapa metode, salah satunya adalah penggunaan varietas tahan penyakit dan toleran keracunan. Badan Litbang Pertanian melalui BB Padi, telah melepas sejumlah VUB padi rawa seperti: Tapus (lahan rawa dengan genangan maksimum 150 cm), Banyuasin, Batanghari, Dendang, Indragiri, Punggur (masing-masing untuk lahan potensiao, gambut dan sulfat masam), Martapura, Margasari (masing-masing untuk lahan pasang surut), dan lainnya. Penamaan padi rawa, seperti halnya padi sawah irigasi dan padi gogo, mengalami perubahan sejak tahun 2008. Padi rawa diberi nama “Inpara” atau Inbrida Padi Rawa, sehingga sejak tahun 2008 sampai 2010 telah dilepas 6 VUB padi gogo (Inpara 1-Inpara 6).
Varietas Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Agritan  memiliki karakter khusus bila dibandingkan varietas padi rawa yang lainnya. Ketiga varietas tersebut dirakit untuk menghadapi cekaman banjir dan varietas Inpara 6, Inpara 7, Inpara 8 Agritan, Inpara 9. Lebih toleran terhadap cekaman Fe. Banjir yang melanda hampir 300 ribu ha lahan sawah dan sekitar 60 ribu ha di antaranya menyebabkan terjadinya kerusakan total pada tanaman padi. Penurunan hasil yang disebabkan oleh banjir berkisar antara 30-60%. Varietas Inpara 3 mampu bertahan dan berproduksi setelah mengalami rendaman selama 7 hari, sedangkan Inpara 4 dan Inpara 5 mampu bertahan selama 10-14 hari.
Padi toleran rendaman memiliki gen toleran rendaman (submergence 1 atau sub 1), sehingga memungkinkan tanaman untuk bertahan dalam keadaan terendam selama 10-14 hari pada fase vegetatif dan dapat tumbuh kembali ketika air surut. Gen Sub1 atau lebih spesifik Sub1A adalah ethylene-response-factor semacam gen yang memberi sifat toleran rendaman pada padi. Cara kerja gen tersebut adalah mengurangi sensitivitas tanaman padi terhadap ethylene. Ethylene merupakan hormon tanaman yang mendorong proses pemanjangan tanaman, pelepasan energi yang disimpan dan penguraian klorofil.
Sumbangan lahan rawa terhadap pangsa produksi padi nasional masih sangat sedikit. Terlepas dari potensi produksi yang dapat dicapai, lahan rawa yang belum dimanfaatkan masih cukup luas sekali bahkan sebagian yang sudah dibuka perlu direhabilitasi kembali karena sebagian telah mengalami penurunan produktifitas dan menjadi lahan bongkar yang ditinggalkan petani. Lahan rawa mempunyai karakteristik yang berbeda dengan agroekosistem lainnya seperti lahan kering atau tadah hujan. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan padi dilahan rawa sangat beragam, diantaranya (1) Kesuburan tanah yang beragam (2) teknologi budidaya yang belum optimal (3) tersingkapnya lapisan pirit (4) Gambut tebal dan mentah (5) Cekaman air dan penyusupan air laut (6) Serangan hama dan penyakit tanaman. Selain aspek teknis juga aspek non teknis yang cukup menjadi penghambat pengembangan pertanian di lahan rawa, antara lain adalah kurangnya dukungan fasilitas seperti jalan atau transportasi, kelembagaan petani dan kelembagaan keuangan. Yang kesemuanya itu bisa menyebabkan kemerosotan produktifitas lahan dan penurunan hasil.
Tantangan lainnya adalah dinamika perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan, ketidakpastian kejadian iklim dan intensitas periode kekeringan (El Nino) yang semakin rapat, maka peran lahan rawa sebagai lumbung pangan baru semakin nyata. Disisi lain, lahan rawa terutama lahan gambut telah lama ditengarai sebagai emiter gas rumah kaca (GRK). Memperhatikan peluang tersebut, pemerintah sepakat menurunkan emisi GRK 9,5 - 13 % dari lahan gambut yang umumnya terkait lahan rawa, untuk berkontribusi pada penurunan GRK sebesar 26 % dan sampai 41 % hingga tahun 2020.
Hasil penelitian Badan Litbang Pertanian menunjukan bahwa produktifitas lahan rawa dapat ditingkatkan melalui pendekatan varietas unggul baru spesifik lahan rawa, pengelolaan hara, air dan penataan lahan. Hasil-hasil penelitian tersebut penting untuk di diseiminasikan ke lokasi lainnya sehingga patut untuk dikomunikasikan. Berbagai pengalaman tentang keberhasilan petani dalam mengolah lahan rawa juga penting untuk menambah khasanah pengetahuan dan pengalaman dalam mengenali dan mengelola lahan rawa ke depan. 
(bbpadi)(maspolhut)

0 comments:

 
Toggle Footer